EMAIL

sensasimedsos@gmail.com

Alumni

Foto Orang

Anita Yuan, S.Si., M.Eng.

Saya lahir di sebuah kota kecil dan tumbuh di pulau yang cukup terisolasi. Jauh dari hiruk-pikuk kota,
lingkungan tempat saya tinggal tidak banyak bersentuhan dengan budaya luar, terutama budaya Barat.
Internet belum semasif sekarang, tidak ada turis asing berkunjung, dan sebagai anak dari keluarga
sederhana, saya tidak punya akses gadget canggih seperti anak-anak lain dari keluarga lebih mampu.
Namun, justru dari keterbatasan itu, saya mengembangkan ketertarikan yang besar terhadap dunia luar.
Saya punya DVD lagu Westlife jaman dulu dan itu terus saya putar di DVD player di rumah. Walaupun saya
gak tau arti setiap katanya, tapi saya senang melafalkan liriknya. Untung saja makna lagu dalam album itu
baik-baik semua. Haha.
 
Sejak kecil, saya sangat menyukai musik Barat. Saya terobsesi dengan budaya asing dan memiliki keinginan
kuat untuk bisa berinteraksi dengan orang-orang dari luar negeri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di
Yogyakarta untuk kuliah, saya masih ingat betul, hal pertama yang ingin saya lakukan adalah pergi ke
Malioboro, hanya untuk melihat turis asing dan berharap bisa berbincang dengan mereka. Lucu rasanya
jika diingat sekarang, tapi begitulah saya waktu itu—seorang anak pulau yang penuh rasa ingin tahu dan
bermimpi menjangkau dunia yang lebih luas.
 
Namun, ada satu kendala besar: saya sama sekali tidak percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggris
saya. Saya selalu berpikir bahwa menguasai bahasa asing adalah sesuatu yang mustahil bagi saya. Saya
merasa minder dan dipenuhi rasa takut membuat kesalahan.
 
Semua mulai berubah karena pendidikan, iyaa pendidikan. Tepat sekali apa yang disampaikan founder
program SENSASI (selamatkan satu generasi) melalui pendidikan. Ketika saya mendapatkan kesempatan
untuk kuliah, di jurusan yang saya ambil dulu, ada seorang dosen dari Jerman yang sangat baik. Beliau
kebetulan adalah dosen Pembimbing Alkitab kami saat tahun itu. Beliau tidak segan untuk saling belajar
dan mengajar bahasa kami masing-masing. Dari sana, rasa takut membuat kesalahan untuk bicara dalam
Bahasa Inggris pelan-pelan rontok.
 
Setelah selesai dengan S1, saya mendapat kesempatan melanjutkan kuliah S2 dengan beasiswa SENSASI.
Momen ini membuka begitu banyak pintu bagi saya. Saya mulai semakin kenal teman-teman asing karena
beberapa proyek yang melibatkan saya. Saya mulai terbiasa berinteraksi dengan akademisi dan
mahasiswa dari luar negeri. Hari demi hari, saya “dipaksa” (dalam konteks yang positif) menggunakan
bahasa Inggris entah untuk membaca jurnal, membuat presentasi, serta berdiskusi dengan dosen dan
rekan-rekan dari luar negeri. Sedikit demi sedikit, saya mulai terbiasa dengan hal itu, walaupun tentu saya
belum selancar native speaker tapi kini rasa minder pelan-pelan berganti dengan kepercayaan diri dan itu
sangat sangat baik loh kata rekan-rekan asing saya.
 
Hingga pada momen ketika saya mendapat kesempatan luar biasa untuk pergi ke Jerman, menginjakkan
kaki di kota Aachen dan beberapa kota lainnya, merasakan udara kering dan dingin dari negara di benua
Eropa itu, dalam rangka seminar internasional. Disana saya mempresentasikan hasil penelitian dosen
dosen pembimbing saya dan saya di sebuah event dalam bidang energi terbarukan. Saya yang dulu hanya
berani bermimpi, kini berdiri di depan para akademisi dari berbagai negara, berbicara dalam bahasa yang
dulu saya anggap mustahil saya kuasai.
 
Melihat ke belakang, saya sadar bahwa perjalanan ini bukanlah kebetulan. Semua terjadi karena Tuhan
yang mengatur segalanya, Dia menaruh keberanian pada saya untuk bermimpi, kemampuan, dan
kesabaran untuk menjalani proses yang Ia sediakan. Dulu, saya hanyalah anak pulau yang merasa dunia
begitu jauh dan mustahil dijangkau, sekarang dunia terasa lebih dekat.
 
Perjalanan ini mengajarkan saya satu hal: keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang
harus dihadapi. Miliki mimpi biarpun rasanya seperti mustahil, tapi jangan lupa bangun untuk menjalani
realita, usahakan apa yang bisa kita usahakan sampai Tuhan membawa kita makin dekat dengan hal yang
kita anggap mustahil pada awalnya.